TEMPAT BERSEJARAH UNTUK MENJALANKAN LAKU PRIHATIN DI TANAH JAWA
TEMPAT TEMPAT MENJALANKAN LAKU PRIHATIN DI TANAH JAWA . .
Lelaku, atau melakukan perjalanan spiritual, menapaktilasi jejak para
leluhur, adalah satu kegiatan yang lazim dilakukan para spiritualis di
Tanah Jawa. Dalam tulisan ini, ijinkan saya untuk berbagi cerita dan
infromasi, tentang tempat-tempat yang telah saya datangi dalam rangka
lelaku tersebut.
Petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro
Petilasan
dalam bentuk makam ini, berada di lembah dua gunung yang berdampingan,
yaitu Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Tepatnya, ia berada di Selo,
termasuk Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Menuju tempat ini, bisa
melalui Boyololali, dari arah Cempaga, atau masuk dari Kabupaten
Magelang, tepatnya dari Wekas (Kaponan / Magelang).
Raja-raja Mataram, hingga Raja-raja dari Keraton Jogja, sering menjadikan petilasan ini sebagai tempat bertapa.
Ki Ageng Kebo Kanigoro adalah putra dari Adipati Pengging, yang menikah
dengan Retno Pembayun, putri dari Prabu Brawijaya V. Beliau adalah
kakak dari Ki Ageng Kebo Kenongo. Karena kegemarannya mencari ilmu
kesejatian, beliau meninggalkan Kraton Pengging, dan lebih suka
mengembara.
Hal menarik yang terekam di benak saya adalah,
betapa indahnya tempat ini. Petilasan ini dikelilingi pohon-pohon besar.
Tanahnya hijau berlumut..laksana dilapisi karpet hijau nan indah.
Suasananya sungguh membuat hati tergetar, sekaligus damai. Apalagi jika
kita berada di sana, saat kabut turun. Wow…sungguh menakjubkan.
Petilasan Pengging
Di Desa Pengging, Kec. Banyudono, kita bisa menemukan beberapa
petilasan leluhur dari Kraton Pengging yang saling berdekatan. Yang
pernah saya kunjungi adalah satu komplek makam, di sana terdapat makam
Eyang Pengging Sepuh, Eyang Retno Pembayun, dan Ki Ageng Kebo Kanigoro.
Tentu saja, bukan makam sebenarnya, hanya sebuah tanda/petilasan, tempat
kita bisa sowan pada beliau-beliau. Tak jauh dari situ, kita bisa
temukan makam Ki Ageng Kebo Kenongo, yang menyatu dengan makam umum.
Di samping makam, di Desa Pengging, kita bisa menemukan beberapa tuk,
atau mata air, tempat kita bisa kungkum, berendam, atau sekadar
menikmati segarnya air di situ untuk membasuh muka dan badan.
Petilasan Ki Ageng Tarub
Ki Ageng Tarub adalah leluhur yang menurunkan raja-raja Jawa. Letak
makam beliau adalah di Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo Kabupaten
Grobogan. Satu komplek dengan makam beliau, terdapat makam Raden Mas
Bondan Kejawan atau disebut juga dengan Ki Lembu Peteng yang di
berijulukan juga sebagai Ki Ageng Tarub II beliau Putra dari Raja
Majapahit Maha Prabu Brawijaya V yang menjadi murid sekaligus putra
menantu Ki Ageng Tarub. Eyang Bondan Kejawan ini menikah dengan Dewi
Nawang Sih, putri Ki Ageng Tarub dari pernikahannya dengan Dewi Nawang
Wulan.
Lebih jelas, sejarah singkat beliau adalah sebagai
berikut: Ki Ageng Tarub adalah nama lain dari Jaka Tarub, yang
bersahabat dengan Prabu Brawijaya V raja Majapahit. Pada suatu hari
Prabu Brawijaya V mengirimkan keris pusaka Kyai Mahesa Nular supaya
dirawat oleh Ki Ageng Tarub.
Utusan Prabu Brawijaya V yang
menyampaikan keris tersebut bernama Ki Buyut Masahar dan Bondan Kejawan,
anak angkatnya. Ki Ageng Tarub mengetahui kalau Bondan Kejawan
sebenarnya putra kandung Prabu Brawijaya V. Maka, pemuda itu pun diminta
agar tinggal bersama di desa Tarub.
Sejak saat itu Bondan
Kejawan menjadi anak angkat Ki Ageng Tarub, dan diganti namanya menjadi
Lembu Peteng. Ketika Nawangsih tumbuh dewasa, keduanya pun dinikahkan.
Setelah Jaka Tarub meninggal dunia, Lembu Peteng alias Bondan Kejawan
menggantikannya sebagai Ki Ageng Tarub yang baru. Nawangsih sendiri
melahirkan seorang putra, yang setelah dewasa bernama Ki Getas Pandawa.
Ki Ageng Getas Pandawa kemudian memiliki putra bergelar Ki Ageng Sela,
yang merupakan kakek buyut Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan
Mataram.
Petilasan Ki Ageng Selo
Makam Ki Ageng Selo, berada
di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo Purwodai, persis berseberangan
jalan dengan makam Ki Ageng Tarub. Ki Ageng Selo, adalah cucu dari Ki
Ageng Tarub, dari putra beliau Ki Ageng Getas Pendawa. Ki Ageng Sela
tercatat pernah mendaftar sebagai perwira di Kesultanan Demak. Ia
berhasil membunuh seekor banteng sebagai persyaratan seleksi, namun
ngeri melihat darah si banteng. Akibatnya, Sultan menolaknya masuk
ketentaraan Demak. Ki Ageng Sela kemudian menyepi di desa Sela sebagai
petani sekaligus guru spiritual. Ia pernah menjadi guru Jaka Tingkir,
pendiri Kesultanan Pajang. Ia kemudian mempersaudarakan Jaka Tingkir
dengan cucu-cucunya, yaitu Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki
Panjawi.
Ki Ageng Sela juga pernah dikisahkan menangkap petir
ketika sedang bertani. Petir itu kemudian berubah menjadi seorang kakek
tua yang dipersembahkan sebagai tawanan pada Kesultanan Demak. Namun,
kakek tua itu kemudian berhasil kabur dari penjara. Untuk mengenang
kesaktian Ki Ageng Sela, pintu masuk Masjid Agung Demak kemudian disebut
Lawang Bledheg (pintu petir), dengan dihiasi ukiran berupa ornamen
tanaman berkepala binatang bergigi runcing, sebagai simbol petir yang
pernah ditangkap Ki Ageng. Bahkan, sebagian masyarakatJawa sampai saat
ini apabila dikejutkan bunyi petir akan segera mengatakan bahwa dirinya
adalah cucu Ki Ageng Sela, dengan harapan petir tidak akan menyambarnya.
Ki Ageng Sela juga berkaitan dengan asal-usul pusaka Mataram yang
bernama Bende Kyai Bicak. Dikisahkan pada suatu hari Ki Ageng Sela
menggelar pertunjukan wayang dengan dalang bernama Ki Bicak. Ki Ageng
jatuh hati pada istri dalang yang kebetulan ikut membantu suaminya.
Maka, Ki Ageng pun membunuh Ki Bicak untuk merebut Nyi Bicak. Akan
tetapi, perhatian Ki Ageng kemudian beralih pada bende milik Ki Bicak.
Ia tidak jadi menikahi Nyi Bicak dan memilih mengambil bende tersebut.
Bende Ki Bicak kemudian menjadi warisan turun temurun keluarga Mataram.
Roh Ki Bicak dipercaya menyatu dalam bende tersebut. Apabila hendak maju
perang, pasukan Matarambiasanya lebih dulu menabuh bende Ki Bicak. Bila
berbunyi nyaring pertanda pihak Mataram akan menang. Tapi bila tidak
berbunyi pertanda musuh yang akan menang.
Selain pusaka, Ki
Ageng Sela meninggalkan warisan berupa ajaran moral yang dianut
keturunannya di Mataram. Ajaran tersebut berisi larangan-larangan yang
harus dipatuhi apabila ingin mendapatkan keselamatan, yang kemudian
ditulis para pujangga dalam bentuk syair macapat berjudul Pepali Ki
Ageng Sela.
Gua Langse
GUA Langse berada di kaki tebing
pantai Parangtritis. Warga sekitar juga menyebut Gua Langse sebagai Gua
Kanjeng Ratu Kidul. Gua ini sering dikunjungi oleh raja-raja Mataram.
Yang paling terkenal terkait dengan gua ini, adalah kisah pertemuan
antara Panembahan Senopati, pendiri Kraton Mataram, dengan Kanjeng Ratu
Kidul.
Dari pantai Parangtritis untuk menuju Gua Langse masih
harus berjalan sekitar 3 km ke arah timur menaiki perbukitan. Sebelum
menuju ke gua, di pos jaga, kita akan diminta mengisi buku tamu dan
memberi donasi bagi perawatan gua. Dari sini kita masih harus berjalan
kaki sekitar 750 m menyusuri jalan setapak di antara rerimbunan ladang.
Kita juga bisa diantar oleh salah seorang penjaga, langsung menuju ke
gua.
Sesampainya di bibir tebing atas Gua Langse, kita masih
harus menuruni tebing tempat Gua Langse berada, dengan jalan turun
berupa campuran antara tangga yang sudah lapuk, akar, dan tonjolan
bebatuan. Ya, kita harus menaklukkan tebing dengan ketinggian 300-400 m
dan nyaris tegak lurus dengan suara deburan ombak yang keras menerjang
tebing dan karang-karang.
Sendang Beji
Sendang Beji terletak
di Dusun Girijati, Parangrejo, Panggang, Gunung Kidul. Tempat ini dapat
dicapai melalui jalan aspal yang menghubungkan Prangtritis-Panggang.
Lokasi ini akan mudah dicapai dengan engikuti jalan aspal di sebelah
timur parkiran bus pariwisata Pantai Parangtritis. Setelah sampai di
pertigaan jalan aspal pengunjung dapat mengikuti arah ke timur
(kanan)-arah ke Gua Langse.
Setelah sampai di pertigaan kampung
yang mengarah ke Candi Gembirawati dan Gua Langse, pengunjung dapat
mengikuti jalan ke arah Candi Gembirawati. Jika pengunjung berkendaraan,
maka kendaraan harus dititipkan ke rumah penduduk setempat sebab jalan
menuju lokasi Sendang Beji adalah jalan setapak dengan menembus tegalan,
sawah, dan kebun. Rumah terdekat dari lokasi Sendang Beji untuk
penitipan kendaraan berada di sisi selatan Candi Gembirawati.
Sendang Beji ini sekarang telah dibuatkan talud yang juga berfungsi
sebagai penampung utama dari kucuran airnya. Talud yang berfungsi
sebagai bak penampung ini memiliki ukuran panjang sekitar 20 meter,
lebar bagian hilir 6 meter, lebar bagian hulu 13 meter. Kedalaman
rata-rata dari sendang ini sekitar 0,5 meter.
Sendang ini juga
dilengkapi dengan tempat peristirahatan sebanyak satu buah. Tempat
peristirahatan ini kira-kira berukuran 7,5 meter X 9 meter. Kecuali itu
tempat ini juga dilengkapi dengan mushala dengan ukuran kira-kira 7,5 X
12 meter. Sendang juga dilengkapi dengan kamar mandi berukuran sekitar 4
meter X 4 meter. Sedangkan bak penampungan yang berfungsi untuk membagi
air berukuran sekitar 3 X 8 meter.
Keberadaan sendang ini juga
dikengkapi dengan tempat pemujaan sebanyak 4 buah. Tempat pemujaan I
(terletak di tengah sendang) memiliki ukuran sekitar 2 meter X 4 meter.
Pemujaan di tengah sendang ini diperkeras dengan lantaikeramik warna
merah dan putih. Ukuran keramik 20 cm x 20 cm. Pemujaan yang kedua (di
sisi atas sendang) memiliki ukuran sekitar 2,5 meter X 5 meter. Pada
tempat pemujaan kedua ini dilengkapi juga dengan arca batu setinggi
kira-kira 2 meteran. Demikian pula tempat pemujaan yang ketiga (di sisi
atas pemujaan yang kedua) juga dilengkapi arca batu setinggi 2 meteran.
Tempat pemujaan yang ketiga ini memiliki ukuran sekitar 4 X 8 meteran.
Sedangkan pemujaan yang ke-4 terletak di dinding timur tempat
peristirahatan. Tempat pemujaan yang keempat ini berukuran sekitar 80 Cm
X 80 Cm.
Sendang Beji di Girijati adalah tempat yang dulunya
pernah digunakan mandi oleh serombongan bidadari dari Kahyangan. Karena
pada zaman dulu keletakan sendang dengan air jernih yang tidak pernah
kering ini berada di punggung bukit dalam lindungan hutan yang lebat,
maka keletakannya menjadi disukai para bidadari. Salah satu bidadari
yang mandi di sendang ini menurut sumber setempat bernama Dewi
Nawangwulan (istri Jaka Tarub).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar